Jumat, 19 Desember 2014
Untuk NadaKu
Sahabat adalah ia yang meraih tangan kita dan menyentuh hati kita. Dia orang yang dapat berkata benar kepada kita, bukan orang yang hanya membenarkan kata-kata kita.
Kasih, gadis yang bertubuh ramping berambut panjang memiliki seorang sahabat yang bernama Nada, dia sosok yang sudah dikenalnya sejak duduk di bangku merah putih tetapi SMA tak lagi satu sekolah, tapi itu tak ngefek pada persahabatan mereka yang tetap harmonis seperti dulu. mereka selalu bersama dalam suka dan duka, tak pernah lelah menemani Nada, menuntunnya, dan menerima segala kekurangannya karena sahabat tak memandang apapun.
Nada, gadis pendiam dan tak pernah putus asa menjalani peran dalam kehidupan ini walaupun dia tak bisa melihat indahnya dunia, ini gunanya seorang sahabat yang selalu memotivasi dan menuntun ke jalan yang benar. Di balik kekurangan pasti ada kelebihan, Nada memiliki hobby bermain piano dan hobbynya ini tak sekedar hobby, dia pun sudah menghasilkan uang dari jerih payahnya sendiri dan membanggakan kedua orangtuanya.
Minggu pagi ini kebetulan Kasih sedang menemani Nada membuat karangan instrument dengan piano kesayangannya. “Nad, sudah banyak prestasi yang kamu dapat, orangtuamu pasti bangga.” Ujar Kasih yang membuka pembicaraan. “iya kas, eh kasih kalau kita sudah lulus SMA kamu ingin kuliah dimana?” tanya Nada sambil melanjutkan lukisannya. “hmm aku sih ingin kuliah seperti yang diharapkan orangtuaku tapi aku masih ingin berada di rumah dan gak ingin jauh dari keluargaku dan juga sahabatku tentunya, mungkin satu tahun aku berada di rumah dan kuliah menyusul di tahun berikutnya, kalau kamu?” ujar Kasih berbalik nanya. “seperti yang kamu bilang, aku harus menggapai impianku, hah.. seandainya aku bisa kas, pasti semuanya akan mudah, tapi apa daya aku ini gak sempurna, seandainya aku mendapat donor kornea dan aku bisa melihat dunia, mungkin aku bahagia, dan akan mengadakan pameran lukisan-lukisanku dengan nada instrument piano yang telah ku buat ini”. Curhatnya dengan kepedihan. “Kamu harus yakin suatu hari nanti Allah akan memberikan anugerahnya kepadamu. Pasti akan ada yang mendonorkan korneanya untuk seseorang sebaik kamu” jawab Kasih pada akhirnya.
Berbeda secara fisik, tidak pernah menjadi halangan di dalam jalinan persahabatan antara Kasih dan Nada, kemana pun Nada pergi, Kasih selalu menemaninya. Kecuali sekolah, karena sekolah mereka berbeda.
Asyiknya bersenda gurau tiba-tiba kepala Kasih terasa pusing “aduuh, kepalaku” “kamu kenapa kas? Kamu sakit?” tanya Nada. “oh nggak, aku gak apa-apa Nad Cuma sedikit pusing saja”. Sambut Kasih sambil tersenyum. “minun obat ya kas, aku gak mau kamu kenapa-napa” suara Nada terdengar mengkhawatirkan Kasih. “aku pulang dulu ya Nad, mau minum obat” Ujar Kasih sambil berpamitan pulang.
Sesampainya di rumah Kasih langsung menuju ke kamarnya yang semuanya bernuansa coklat mendominasi di setiap sudut ruangan, dan gadis bertubuh ramping ini terduduk lemas di atas ranjang. “ya allah, berapa lama lagi usiaku di dunia ini? Berapa lama lagi malaikatmu akan menjemputku untuk menghadapmu?” ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Divonis menderita kanker darah sejak 4 bulan yang lalu dan tidak akan berumur lama lagi sungguh menyakitkan bagi Kasih, usianya yang baru 16 tahun, dengan segudang cita-cita yang dia inginkan, sudah pasti tak satu pun akan terwujud, semoga ada keajaiban, amin.
Pintu kamar Kasih tiba-tiba terbuka, seorang wanita paruh baya masuk dan duduk di sampingnya. “gimana rasanya sayang? Masih gak enak? Kita ke dokter sekarang yah?” ujar wanita itu dengan lembutnya. “nggak usah ma, aku sudah enakan kok, aku cuma butuh istirahat saja” jawab Kasih dengan sopan. “ya sudah kalau begitu, mama tinggal dulu ya, istirahat ya nak” Ujar mamanya sambil mencium kening putri sematawayangnya. “makasih ma, aku slalu sayang mama” sumbar Kasih. Terus terang Kasih sudah tak kuat menahan rasa sakit itu, tapi dia berusaha menyembunyikannya dari kedua orangtuanya, karena dia tak ingin membuat orangtuanya kepikiran dan gelisah.
Di ruang keluarga, ibu Sanny duduk sambil menemani sang suami yang baru saja pulang kerja. “ma, Kasih kemana? Kok papa gak melihatnya dari tadi?” tanya papanya Kasih. “Kasih lagi istirahat pa, dia pusing dan ngeluh sakit dari tadi” jawabnya. “sebenarnya sakit apa anak kita ma? Kalau kita ajak ke dokter dia selalu menolak, papa rasa ada yang dia sembunyiin dari kita, aku takut penyakitnya parah” dengan nada khawatir papanya bicara. “entahlah pa, mama juga bingung” ujar mamanya lagi.
Ternyata sakit saat itu adalah pertanda dia akan segera dipanggil menghadap sang Pencipta, saat minta ijin untuk istirahat pada mamanya, kesehatan Kasih benar-benar drop. Dengan panik kedua orangtuanya melarikan putrinya ke rumah sakit, setelah akhirnya mendapat penanganan oleh tim dokter, Kasih sedikit tenang, namun mukanya terlihat pucat, sinar matanya terlihat begitu redup. “pak Addy bisa kita bicara sebentar di ruangan saya?” kata dokter Ngadi, yang juga merupakan dokter pribadi keluarga Addy. “baiklah dok” sambut pak Addy. Setelah pak Addy dan bu Sanny duduk di ruangan dokter Ngadi, mereka akhirnya mulai bicara “maafkan saya sebelumnya pak, sebenarnya saya sudah tahu penyakit yang di derita putri bapak selama 6 bulan yang lalu, tapi karena putri bapak menyuruh saya menyembunyikan penyakitnya kepada bapak dan ibu, saya gak bisa berbuat apa-apa, putri bapak terkena kanker darah” ujar dokter Ngadi lirih.
Cukup lirih memang kata-kata dokter Ngadi, tapi mampu membuat jantung pak Addy dan istrinya berdetak lebih cepat dari biasanya. “apaa? Kanker darah? Separah apa dok?” keras nada suara pak Addy tak mampu tersembunyikan. “sudah parah pak, umur Kasih sudah tak akan lama lagi” sambung dokter kembali.
Setelah berbincang lama dengan dokter, air mata tak berhenti mengalir dari pipi bu Sanny, dia begitu terpukul mendengar putrinya menderita penyakit itu. “udah ma, jangan menangis terus, pengobatan Kasih akan diusahakan, kita akan mengusahakan kesembuhannya, lebih baik kita berdoa, semoga Allah memberi jalan yang terbaik buat keluarga kita” hibur pak Addy. “mari kita tengok Kasih!” ajaknya lagi.
Memasuki ruangan perawatan, ibu Sanny berusaha menyembunyikan air matanya, dia tersenyum penuh kepedihan di atas ranjang putrinya. “mama kenapa? Kok sedih gitu?” ujar Kasih. “gak apa-apa sayang” berbisik ibu Sanny tak kuasa menahan air matanya. “maafkan Kasih ma, pa. Kasih tak bermaksud membuat mama dan papa terluka seperti ini, Kasih hanya tak ingin menyusahkan kalian” Kasih berkata dengan terbata-bata.
Belum ada beberapa menit pak Addy dan bu Sanny di kamar putrinya, tiba-tiba Kasih kejang-kejang. Dengan panik pak Addy memanggil dokter Ngadi. Dokter Ngadi menangani Kasih lumayan lama, hingga akhirnya dokter Ngadi keluar, muka beliau kelihatan sangat sedih. “bagaimana anak saya, dok?” tanya pak Addy. “maaf pak, kami disini sudah berusaha yang terbaik, namun tuhan berkehendak lain, nyawa putri bapak sudah tidak dapat tertolong” ucap dokter. “Tidaaaaaakkk!!” teriak ibu Sanny histeris. “Kasih tidak mungkin meninggal, Kasih masih hidup” seluruh pengunjung rumah sakit menoleh ke arah mereka. “pak, sebelum Kasih meninggal, dia menitipkan ini ke saya, ini untuk bapak dan ibu” imbuh dokter Ngadi sebelum mohon diri. Sepeninggal dokter Ngadi, pak Addy dan bu Sanny membuka amplop kecil dari Kasih, isinya ternyata surat.
“mama, papa, maafin Kasih sudah membuat mama dan papa jadi sedih, Kasih mohon sama papa dan mama, setelah Kasih meninggal tolong berikan kornea mata Kasih buat Nada ya ma, pa. Tapi jangan bilang itu dari Kasih sebelum Nada benar-benar operasi dan bisa melihat lagi, dan satu lagi. Mama tolong kasih Nada surat yang Kasih simpen di laci meja belajar Kasih yang amplopnya berwarna coklat, setelah Nada melihat nanti, dan surat buat mama dan papa ada di dalam amplop biru di laci yang sama. Sekian dulu, pa, ma, maaf kalau Kasih selalu ngerepotin kalian, Kasih sayang kalian…”
KASIH PUSPARINI
Selain sepucuk surat itu ada lagi sebuah surat pernyataan pendonoran kornea mata yang telah lengkap dengan tanda tangan Kasih. Membuat hati kedua orangtua Kasih tersayat, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan lagi selain memenuhi permintaan terakhir Kasih.
Selain itu, di rumah Nada, tampak gadis itu tengah duduk manis seorang diri di teras rumahnya wajahnya tampak sedikit murung. “kemana Kasih, sudah hampir seminggu dia gak main kesini, apa dia baik-baik saja?” gumamnya. “ma, Kasih pernah kesini gak dalam beberapa hari ini?” tanya Nada pada mamanya. “gak ada, memang kenapa?” tanya sang mama. “gak papa ma, aku ke rumah Kasih sebentar ya” Nada minta ijin ke mamanya tapi di luar dugaan, mama Nada melarangnya pergi. “jangan Nad, kita harus ke rumah sakit sekarang juga, tadi mama ditelepon sama pihak rumah sakit, katanya ada yang menyumbangkan korneanya khusus untuk kamu” dengan tutur kata yang lembut mamanya bicara. “yang bener ma? Nada sudah dapat donor kornea? Nada akan segera bisa melihat wajahnya Kasih, Nada bisa segera menggelar pameran lukisan” ucap Nada berapi-api “iya nak” jawab mamanya penuh kepedihan. “seandainya kamu tahu sayang, Kasih tak mungkin ada di sampingmu lagi Kasih sudah tenang di alam sana, dan seandainya kamu tahu siapa yang mendonorkan korneanya untuk kamu” kata ibu Nada dalam hati
Waktu berjalan cepat, operasi cangkok kornea sudah dilaksanakan dan sekarang adalah hari yang penting dan paling di tunggu-tunggu Nada, perban di matanya akan segera di buka, tim dokter dan kedua orangtua Nada sudah ada di ruangan Nada. Sebelum perbannya di buka, Nada berujar, “ma, pa, Kasih sudah datang? Aku ingin sekali ada Kasih disini pas aku bisa ngeliat” “belum sayang, Kasih masih ada di luar kota” pedih rasanya hati ibu Nada saat berujar. Perban akhirnya perlahan-lahan dibuka, samar-samar penglihatan Nada mulai melihat warna, melihat sosok kedua orangtuanya dia tersenyaum semakin lama semakin jelas. “mama, papa aku bisa melihat kalian” gembira sekali suara Nada.
Sudah satu minggu semenjak Nada bisa melihat, hari ini dia memaksa ibunya agar diperbolehkan melihat Kasih, mengunjungi Kasih, “kata mama Kasih sudah ada di rumah, berarti Nada boleh main donk ma, Nada pengen ngajak Kasih buat jalan-jalan merayakan kesembuhan Nada” “iya nak, mama sama papa temenin kamu ya” berbeda beberapa rumah antara Kasih dan Nada merupakan hal yang membahagiakan, tidak perlu bermacet-macet ria di jalan untuk mengunjunginya.
Sesampainya di rumah Kasih mereka disambut ramah oleh orangtua Kasih yang kebetulan sedang berada di rumah. “selamat sore tante Sanny” sapa Nada dengan senyum sumringah. Setelah dipersilahkan duduk dan menikmati hidangan yang ada, Nada menanyakan keberadaan sahabat karibnya, “mana Kasih tante? Kok gak keliatan ada di rumah?” “Kasihnyaa… Kasih… Kasih” dengan terbata-bata ibu Sanny menjawab. “Kasih kemana tante? Kasih tidak apa-apa kan?” bertubi-tubi Nada bertanya ibu Sanny tak kuasa menjawab, beliau meninggalkan tamunya dan bergegas lari ke atas menuju kamar Kasih dan mengambil sepucuk surat yang di titipkan Kasih untuk Nada. Ibu Sanny kembali ke ruang tamu dengan sepucuk surat di tangannya. “ini dari Kasih untuk kamu” ujarnya berlinang air mata. Dengan tangan gemetar Nada membuka amplop berwarna coklat cerah yang cantik itu dengan hiasan pita di sudut amplopnya.
Dear Nada-ku,
Nada sayang, sahabatku yang paling baik, apa kabar hari ini? Baik-baik saja kan? Semoga sehat ya? Nad, saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah tidak ada di dunia ini, tak ada di sampingmu, tak bisa menemanimu bermain, bercanda tawa, maafkan aku ya Nad.. Nada sayang, sebenernya aku ingin cerita penyakitku ke kamu, tapi aku takut buat kamu kepikiran terus, takut buat kamu gelisah. Sebenarnya aku terkena kanker darah, dan umurku tidak lama lagi. Nada sayang, meskipun aku telah pergi dari sisi kamu, tapi rasa sayang aku ke kamu tak akan pernah berubah, kamu sahabat terbaikku, kamu tempat berkeluh kesah, tempatku menumpahkan suka dan duka, Nad, ku tau saat kamu baca surat ini, kamu sudah bisa melihat indahnya dunia kan? Sengaja kuberikan mataku untukmu Nad, hanya itu yang bisa ku berikan, jaga mata itu seperti kamu menjaga persahabatan kita selama ini. Segitu dulu ya Nad, maafkan aku karena harus pergi meninggalkan mu, terima kasih sudah memberikan aku arti selama hidup di dunia ini. Sampai ketemu suatu saat nanti Nad, aku sayang kamu sahabatku.
Dariku yang slalu menyayangimu…
My best friend in my life
KASIH PUSPARINI
Air mata mengalir deras di pipi Nada, “ini gak mungkin!!” katanya sambil menangis. Dia tak percaya sahabatnya sudah kembali ke pangkuan Tuhan, Nada menatap selembar foto yang ada di dalam amplop juga, foto mereka berdua. Dan akhirnya, Nada meminta agar kedua orangtua Kasih mengantarnya ke kuburan. Lumayan jauh dari rumah Nada. Kaki Nada lemah, tapi dia berusaha mengikuti langkah kaki orangtuanya dan kedua orangtua Kasih ke sebuah makam yang tertata rapi dengan taburan bunga yang masih segar. Sebuah nisan yang begitu cantik di hadapan Nada, membuatnya semakin terluka. Berjongkok Nada membelai lembut nisan itu, gerimis turun membasahi nisan, semakin lama semakin deras, sederas air mata yang jatuh di pipi Nada.
“Kenapa secepat ini kamu ninggalin aku Kas? Tega kamu! ninggalin aku sendiri disini Kas. Terimakasih sayang, kamu telah memberikan aku sepasang mata untuk melihat dunia, mengajariku tentang ketulusan sebuah persahabatan, dan terimakasih atas senyum manismu yang pernah kau hadirkan di hidupku” ucap Nada sambil terisak lirih di atas nisan. Tangan lembut ibu Nada terulur ke arah putrinya, “bangun Nad, sudah ikhlaskan saja Kasih, dia sudah tenang disana, yang harus kamu tahu, Kasih tak ingin kamu jadi seseorang yang cengeng, kamu harus semangat menjalani hidupmu” bimbing ibu Nada. “iya ma terimakasih, aku hanya sedih saja, tapi aku janji gak akan cengeng lagi setelah hari ini” ujar Nada berjanji.
Langganan:
Postingan (Atom)